Tantangan Ekonomi Indonesia Menurut Bank Dunia: Subsidi dan Dominasi BUMN

Rabu, 08 Oktober 2025 | 12:03:40 WIB
Tantangan Ekonomi Indonesia Menurut Bank Dunia: Subsidi dan Dominasi BUMN

JAKARTA - Ekonomi Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan mendasar yang berulang kali disorot oleh lembaga internasional. 

Bank Dunia, melalui Kepala Ekonom untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo, menegaskan bahwa pertumbuhan nasional masih banyak ditopang oleh kebijakan subsidi dan dominasi badan usaha milik negara (BUMN), bukan oleh reformasi struktural yang dapat mendorong daya saing jangka panjang.

Dalam paparannya, Mattoo menyebutkan bahwa upaya Indonesia untuk tumbuh lebih cepat dari kapasitas potensialnya saat ini masih banyak ditutupi oleh dukungan pemerintah. Subsidi di sektor pangan, transportasi, hingga energi menjadi penyangga utama.

“Namun, ada pertanyaan yang lebih besar, yaitu sejauh mana fokus seharusnya diarahkan pada reformasi struktural yang lebih mendalam, yang misalnya dapat memberikan dinamika baru bagi perekonomian Indonesia dan juga menjawab berbagai permasalahan yang ada saat ini, yaitu bagaimana menciptakan pekerjaan yang lebih baik dan lebih produktif bagi masyarakat,” ujar Mattoo dalam Media.

Subsidi: Penopang atau Hambatan?

Subsidi memang telah lama menjadi instrumen penting dalam kebijakan ekonomi Indonesia. 

Pemerintah menggunakannya untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas harga, terutama pada sektor energi, transportasi, dan pangan. Namun, Bank Dunia menilai praktik ini tidak boleh terus-menerus dijadikan solusi utama.

Menurut Mattoo, subsidi sebaiknya diimbangi dengan kebijakan reformasi ekonomi yang lebih dalam. Dengan begitu, pertumbuhan tidak hanya tercatat tinggi secara angka, tetapi juga mencerminkan peningkatan produktivitas dan keberlanjutan. 

Jika tidak, subsidi berpotensi hanya menambal kebutuhan jangka pendek tanpa memperbaiki fondasi ekonomi secara keseluruhan.

Reformasi Struktural Masih Lemah di Implementasi

Bank Dunia menilai, Indonesia sudah mencoba melakukan reformasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Kebijakan ini dipandang ambisius karena bertujuan menyederhanakan regulasi dan mendorong investasi. Namun, masalah justru terletak pada pelaksanaan.

“Masalahnya sering terjadi di negara-negara di kawasan ini, undang-undangnya ambisius, tetapi implementasinya lemah,” ungkap Mattoo.

Lemahnya eksekusi membuat manfaat reformasi belum terasa signifikan di lapangan. Padahal, jika dijalankan dengan konsisten, UU Cipta Kerja bisa membuka peluang lapangan kerja baru, memperkuat sektor manufaktur, serta meningkatkan kepercayaan investor asing.

Investasi dan Potensi Hilirisasi

Meski masih ada catatan kritis, Bank Dunia juga mengakui adanya langkah positif dari pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, yang dianggap mampu menarik lebih banyak investasi.

Selain itu, relaksasi kebijakan moneter dan pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) juga dipandang berpotensi menjadi motor penggerak pertumbuhan. Hilirisasi sumber daya alam, yang saat ini digencarkan pemerintah, disebut-sebut dapat meningkatkan nilai tambah produksi di dalam negeri.

Namun, Mattoo tetap memberi catatan penting. Menurutnya, tanpa integrasi yang lebih luas dalam rantai pasok global, sektor manufaktur Indonesia akan sulit bersaing. 

“Kebijakan perdagangan yang restriktif membuat Indonesia belum sepenuhnya terintegrasi dalam rantai pasok global, terutama di sektor manufaktur,” jelasnya.

Peran Dominan BUMN Perlu Dikaji Ulang

Selain persoalan subsidi, dominasi BUMN juga menjadi perhatian utama Bank Dunia. Menurut Mattoo, ketergantungan pada investasi yang diarahkan negara serta status istimewa BUMN berpotensi menekan kompetisi dan efisiensi pasar.

“Oleh karena itu, saya pikir penerapan reformasi yang telah disahkan Indonesia dan menjadi lebih ambisius dalam reformasi yang akan membantu membuka perdagangan dan meningkatkan persaingan, serta mengurangi status istimewa BUMN, akan sangat berpengaruh,” tegasnya.

Dominasi BUMN memang kerap menimbulkan dilema. Di satu sisi, mereka berperan penting dalam menopang proyek strategis nasional. Namun, di sisi lain, keistimewaan yang dimiliki BUMN bisa membuat persaingan usaha menjadi timpang, sehingga sektor swasta kurang leluasa berkembang.

Jalan Menuju Pertumbuhan Berkelanjutan

Apa yang disampaikan Bank Dunia sebenarnya bukan sekadar kritik, melainkan pengingat bahwa Indonesia masih perlu memperkuat fondasi ekonominya. Mengandalkan subsidi dan peran besar BUMN mungkin memberikan hasil cepat, tetapi tidak cukup untuk menjamin daya saing jangka panjang.

Kunci keberhasilan ada pada keseimbangan. Subsidi tetap bisa digunakan untuk menjaga stabilitas, namun harus disertai dengan reformasi struktural yang nyata, peningkatan kualitas sumber daya manusia, integrasi perdagangan global, serta iklim investasi yang lebih sehat.

Penutup

Pesan Bank Dunia bagi Indonesia jelas: pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tidak bisa hanya bergantung pada subsidi atau dominasi BUMN. Reformasi struktural yang efektif, keterbukaan perdagangan, serta persaingan yang sehat adalah kunci menciptakan ekonomi yang tangguh dan produktif.

Dengan langkah-langkah yang sudah ditempuh, seperti UU Cipta Kerja, hilirisasi, hingga pembentukan BPI Danantara, Indonesia sebenarnya berada di jalur yang benar. 

Namun, implementasi yang konsisten dan keberanian mengurangi ketergantungan pada subsidi serta keistimewaan BUMN akan menentukan apakah Indonesia mampu keluar dari jebakan pertumbuhan jangka pendek menuju ekonomi yang benar-benar berdaya saing di tingkat global.

Terkini