APBN

Ekonomi Tertekan, Indikator Fiskal APBN Agustus 2025 Melemah

Ekonomi Tertekan, Indikator Fiskal APBN Agustus 2025 Melemah
Ekonomi Tertekan, Indikator Fiskal APBN Agustus 2025 Melemah

JAKARTA - Kinerja fiskal negara sepanjang Agustus 2025 menegaskan bahwa pemulihan ekonomi domestik masih belum sepenuhnya stabil. Data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan negara melemah, terutama dari pos-pos strategis perpajakan. 

Hal ini menjadi sinyal bahwa daya tahan ekonomi nasional menghadapi tekanan lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya.

Hingga akhir Agustus 2025, penerimaan pajak neto tercatat sebesar Rp1.135,44 triliun, atau baru mencapai 54,7% dari outlook 2025. Realisasi ini menurun 5,1% year on year (yoy) dari posisi pada periode yang sama tahun lalu, yaitu Rp1.196,5 triliun.

Pajak dan PNBP Melemah

Pelemahan paling dalam terlihat pada penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan. Angka yang terkumpul hanya Rp194,20 triliun, turun 8,7% yoy. Jika dibandingkan bulan Juli, penurunan bahkan lebih tajam, yakni 9,1% yoy atau sebesar Rp174,47 triliun.

Sektor konsumsi juga memberi sinyal pelemahan. Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) anjlok 11,5% yoy, dengan realisasi hanya Rp416,49 triliun.

Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga mengalami penurunan signifikan sebesar 20,1% yoy. Hingga Agustus, jumlah yang masuk sebesar Rp306,8 triliun, setara 54,3% dari outlook 2025.

Satu-satunya sektor yang masih mencatatkan pertumbuhan positif berasal dari kepabeanan dan cukai, dengan kenaikan 6,4% yoy. Realisasi penerimaan dari pos ini sebesar Rp194,9 triliun, atau 62,8% dari target tahun berjalan.

Secara total, pendapatan negara hingga Agustus hanya mencapai Rp1.638,7 triliun, terkoreksi 7,8% yoy dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Realisasi Belanja Masih Tertahan

Penerimaan negara yang melambat tidak diimbangi dengan percepatan belanja. Realisasi belanja negara baru menyentuh 55,6% dari pagu APBN, setara Rp55,6 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa mesin fiskal belum bekerja maksimal untuk menopang aktivitas ekonomi.

Peneliti Ekonomi CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai pelemahan penerimaan di sektor strategis ini sebagai gambaran nyata perlambatan ekonomi domestik. Menurutnya, pemerintah pun telah menyadari kondisi tersebut melalui rencana penambahan stimulus pada sisa tahun 2025.

"Fakta ini seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah: sejauh mana kebijakan yang dijalankan mampu benar-benar menstimulasi perekonomian? Apalagi, pada semester pertama tahun ini pemerintah sudah menggulirkan beberapa paket stimulus," ujar Yusuf kepada Kontan, Senin (22 September 2025).

Pemulihan Ekonomi Tidak Merata

Meskipun pertumbuhan ekonomi secara agregat masih positif, Yusuf menekankan bahwa tren penurunan penerimaan pajak menunjukkan adanya ketimpangan dalam pemulihan.

"Ada sektor-sektor krusial yang masih tertinggal dalam proses pemulihan," katanya.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa efektivitas belanja negara menjadi kunci. Menurutnya, penyaluran stimulus harus diarahkan ke pos-pos yang benar-benar mampu menggerakkan aktivitas ekonomi secara nyata.

"Jika belanja pemerintah tepat sasaran, bukan hanya memberikan dorongan jangka pendek, tapi juga memperluas basis pajak untuk memperkuat posisi fiskal," tegasnya.

Kritik Eksekusi Kebijakan

Pandangan kritis juga datang dari Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Ia menilai lemahnya indikator fiskal menjadi bukti bahwa kebijakan yang telah diluncurkan pemerintah belum mampu membawa perbaikan signifikan.

"Jika data-data ekonomi belum menunjukkan perbaikan, hal ini menunjukkan solusi yang dijalankan selama ini tidak tepat atau tidak dieksekusi dengan baik," jelas Wijayanto.

Ia bahkan menyinggung peran kementerian yang dianggap belum bekerja optimal. Menurutnya, kinerja yang buruk serta lemahnya koordinasi antarinstansi bisa menjadi penyebab utama realisasi kebijakan tidak sesuai harapan.

"Kinerja kementerian yang buruk dan kurang koordinasi, bisa jadi merupakan faktor penting. Presiden perlu memikirkan cara baru, dan tim baru," ungkapnya kepada Kontan.

Tantangan Kebijakan Fiskal ke Depan

Tekanan fiskal di tengah perlambatan ekonomi menempatkan pemerintah pada posisi sulit. Di satu sisi, pendapatan negara melemah akibat turunnya penerimaan pajak dan PNBP. Di sisi lain, belanja negara belum sepenuhnya bergerak untuk menstimulasi pertumbuhan.

Situasi ini menuntut adanya kebijakan fiskal yang lebih tepat sasaran dan eksekusi yang disiplin. Belanja negara yang efisien dan fokus pada sektor produktif diharapkan dapat mempercepat pemulihan sekaligus memperkuat basis pajak di masa depan.

Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga kredibilitas fiskal dengan memastikan target APBN realistis, meskipun tekanan global dan domestik masih membayangi.

Indikator fiskal hingga Agustus 2025 memperlihatkan wajah ekonomi domestik yang masih penuh tantangan. Dengan pendapatan negara terkoreksi 7,8% yoy dan penerimaan pajak dari sektor penting mengalami kontraksi, ruang fiskal pemerintah jelas tertekan.

Pandangan ekonom memperkuat pesan bahwa stimulus tidak hanya harus hadir, tetapi juga tepat sasaran dan dieksekusi dengan baik. Jika tidak, pemulihan ekonomi berpotensi terhambat lebih lama.

Pada akhirnya, APBN bukan sekadar catatan angka, tetapi instrumen vital untuk menjaga momentum pertumbuhan. Efektivitas kebijakan dan koordinasi antarinstansi menjadi kunci agar belanja negara benar-benar mampu mendorong aktivitas ekonomi, memperluas basis pajak, dan menguatkan fondasi fiskal Indonesia ke depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index