JAKARTA - Garuda Indonesia tengah menegaskan upayanya untuk mencapai ekuitas positif pada akhir 2025.
Melalui serangkaian langkah strategis yang fokus pada peningkatan produktivitas dan optimalisasi layanan penerbangan. Meski menghadapi sejumlah tantangan pasca-restrukturisasi, maskapai ini berhasil menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang nyata.
Strategi Optimalisasi Operasional
Direktur Utama Garuda Indonesia Group, Wamildan, menyatakan perusahaan terus menjalankan berbagai langkah untuk memperbaiki kinerja.
“Garuda Indonesia Group saat ini terus berupaya untuk memperbaiki kinerja di antaranya dengan peningkatan kapasitas produksi, serta fokus pada rute-rute penerbangan yang profitable yang salah satunya dilaksanakan melalui program restrukturisasi rute,” ujarnya.
Langkah ini dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi armada dan pemanfaatan pesawat yang maksimal. Fokus perusahaan bukan hanya pada peningkatan jumlah penerbangan, tetapi juga pada kualitas layanan dan pendapatan per pesawat.
Strategi ini diharapkan mampu menstabilkan arus kas dan meningkatkan daya saing perusahaan di pasar penerbangan nasional maupun internasional.
Peningkatan Produktivitas Armada
Sejak awal tahun, Garuda Indonesia mengimplementasikan langkah-langkah strategis yang terlihat dampaknya pada pertengahan tahun. Wamildan menekankan, meski jumlah pesawat operasional lebih sedikit akibat tantangan pasca-PKPU, produktivitas per armada meningkat signifikan.
“Di tengah beratnya tantangan perawatan armada pasca PKPU yang menjadi beban perusahaan pada semester I 2025, Garuda Indonesia Group mampu menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi meskipun dengan jumlah pesawat operasional yang lebih sedikit. Hal tersebut mencatatkan postur pendapatan yang lebih baik, sebagaimana tampak pada pendapatan untuk setiap pesawat yang beroperasi,” jelasnya.
Produktivitas ini tercermin dari rata-rata pendapatan per armada yang meningkat. Pada semester I 2025, pendapatan rata-rata setiap armada Garuda Indonesia naik dari US$15,68 juta menjadi US$15,88 juta, atau sekitar Rp 260 miliar menjadi Rp 263 miliar.
Sementara itu, Citilink mencatatkan peningkatan pendapatan per pesawat sebesar 4,4 persen, dari US$10,99 juta menjadi US$11,47 juta.
Kendala dan Tantangan Finansial
Meski produktivitas meningkat, Wamildan menyebut perusahaan masih menghadapi tekanan dari kewajiban keuangan jangka pendek pasca-restrukturisasi. Tantangan utama saat ini adalah mengaktifkan kembali armada yang saat ini grounded, namun tetap menjadi beban perusahaan (sunk cost).
Selain itu, keterbatasan jumlah pesawat yang beroperasi juga membatasi potensi pertumbuhan pendapatan dan penyerapan pasar yang ada.
Pada semester I 2025, Garuda Indonesia membukukan rugi US$142,8 juta atau sekitar Rp 2,3 triliun, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 1,6 triliun.
Meski demikian, perusahaan berhasil menekan beban usaha menjadi US$1,50 miliar dibandingkan US$1,53 miliar tahun sebelumnya, sekaligus meningkatkan pendapatan usaha konsolidasi dari penerbangan tidak berjadwal sebesar 15,66 persen, dari US$177,69 juta menjadi US$205,84 juta.
Optimisme Menuju Ekuitas Positif
Wamildan menegaskan bahwa langkah-langkah perbaikan ini menunjukkan arah positif bagi Garuda Indonesia. Peningkatan pendapatan per armada, efisiensi operasional, dan fokus pada rute yang menguntungkan menjadi modal penting untuk mencapai target ekuitas positif pada akhir 2025.
“Kami optimis, melalui konsistensi penerapan strategi dan restrukturisasi yang tepat, Garuda Indonesia dapat menata kembali posisi keuangan dan meningkatkan nilai perusahaan,” ujarnya.
Perusahaan terus berupaya mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang pasar. Dengan produktivitas yang meningkat, beban yang berhasil ditekan, serta strategi optimalisasi armada, Garuda Indonesia memiliki potensi untuk menstabilkan keuangan dan memperkuat posisi di industri penerbangan nasional maupun regional.