RAPBN

Defisit RAPBN 2026 Naik, Pemerintah Fokus Belanja Prioritas

Defisit RAPBN 2026 Naik, Pemerintah Fokus Belanja Prioritas
Defisit RAPBN 2026 Naik, Pemerintah Fokus Belanja Prioritas

JAKARTA - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 kembali mengalami revisi, terutama pada sisi defisit anggaran. Pemerintah bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menyepakati defisit sebesar Rp689,1 triliun atau 2,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih tinggi dari rancangan awal yang dipatok Rp638,8 triliun atau 2,48 persen dari PDB.

Meski defisit melebar, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kebijakan ini tetap dalam kerangka kehati-hatian fiskal. Pemerintah menilai, ruang tambahan defisit tersebut diperlukan untuk mendukung belanja prioritas, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penyesuaian Karena Belanja Pusat dan TKD

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa pelebaran defisit 2026 merupakan konsekuensi logis dari adanya tambahan belanja negara.

“Itu kan konsekuensi. Tadi kan kita menambah yang Rp43 triliun (TKD), lalu kita tambah sedikit di belanja pusatnya, sehingga defisit melebar dari 2,48 persen menjadi 2,68 persen dari PDB,” ujar Febrio usai rapat kerja bersama Banggar DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (18 September 2025).

Belanja Pemerintah Pusat (BPP) naik Rp13,2 triliun menjadi Rp3.149,7 triliun dari sebelumnya Rp3.136,5 triliun. Sementara itu, Transfer ke Daerah (TKD) meningkat lebih signifikan, yakni Rp43 triliun, sehingga totalnya mencapai Rp693 triliun.

Kenaikan kedua pos belanja inilah yang mendorong revisi defisit, meskipun pemerintah tetap berupaya menjaga keseimbangan dengan pendapatan negara.

Defisit Masih Lebih Rendah dari 2025

Pemerintah menegaskan bahwa sekalipun defisit RAPBN 2026 lebih besar dibanding rancangan awal, posisinya tetap lebih rendah dibandingkan outlook APBN 2025 yang diperkirakan berada di level 2,78 persen dari PDB.

Menurut Febrio, langkah ini mencerminkan upaya menjaga disiplin fiskal, sekaligus memberi ruang untuk memperkuat stimulus bagi perekonomian nasional. “Kita melihat kebutuhan untuk pertumbuhan ekonomi dan juga baik di pusat maupun belanja di daerah itu tetap menjadi prioritas,” ujarnya.

Dengan demikian, pelebaran defisit tidak dipandang sebagai pelemahan disiplin fiskal, melainkan bentuk penyesuaian agar kebijakan belanja tetap sejalan dengan target pembangunan.

Postur RAPBN 2026 Disepakati

Selain defisit, Banggar DPR RI bersama pemerintah juga menyepakati sejumlah penyesuaian dalam postur RAPBN 2026.

Pendapatan negara naik menjadi Rp3.153,6 triliun, atau bertambah Rp5,9 triliun dari rancangan awal Rp3.147 triliun.

Belanja negara disetujui sebesar Rp3.842,7 triliun, meningkat Rp56,2 triliun dari rancangan sebelumnya Rp3.786,5 triliun.

Defisit anggaran naik menjadi Rp689,1 triliun, atau bertambah Rp50,3 triliun dari rancangan awal Rp638,8 triliun.

Keseimbangan primer disepakati dengan defisit Rp89,7 triliun, lebih besar dari rancangan sebelumnya Rp39,4 triliun.

Secara keseluruhan, penyesuaian ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga kesinambungan fiskal sembari memastikan belanja negara benar-benar berdampak pada masyarakat.

Fokus pada Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan

Kebijakan fiskal yang tercermin dalam RAPBN 2026 diarahkan tidak hanya untuk menjaga stabilitas makro, tetapi juga memperkuat pemerataan pembangunan. Peningkatan TKD menjadi bukti bahwa daerah tetap menjadi perhatian dalam strategi pembangunan nasional.

Alokasi belanja tambahan di tingkat pusat pun diprioritaskan untuk sektor-sektor yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Dengan demikian, defisit yang melebar diharapkan sejalan dengan peningkatan produktivitas ekonomi jangka panjang.

Tantangan Menjaga Disiplin Fiskal

Meski tetap berada dalam level yang aman, pelebaran defisit menandai adanya tantangan baru bagi pemerintah. Kondisi global yang penuh ketidakpastian, terutama dari sisi geopolitik dan harga komoditas, berpotensi menekan penerimaan negara.

Di sisi lain, kebutuhan belanja untuk mendukung program prioritas nasional tak bisa ditunda. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara kebutuhan belanja dan kemampuan penerimaan menjadi tugas utama Kementerian Keuangan sepanjang 2026.

Febrio menegaskan bahwa prinsip kehati-hatian akan tetap dipegang. Pemerintah akan terus memantau dinamika ekonomi dan menyesuaikan kebijakan apabila diperlukan, agar defisit tidak melebar di luar batas yang disepakati.

Revisi defisit RAPBN 2026 menjadi 2,68 persen dari PDB menunjukkan adanya penyesuaian belanja untuk mendukung pembangunan nasional, terutama melalui peningkatan alokasi di belanja pusat dan transfer ke daerah.

Meski angka defisit naik dibanding rancangan awal, posisinya tetap lebih rendah dari outlook defisit APBN 2025. Hal ini memberi sinyal bahwa disiplin fiskal tetap dijaga, meski ruang fiskal diperlebar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Ke depan, keberhasilan menjaga defisit tetap terkendali sekaligus memastikan efektivitas belanja negara akan menjadi penentu utama stabilitas fiskal Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index